Selamat Datang di Blog SD Integral Al-Furqan Hidayatullah Mamuju Sulawesi Barat

Cari Blog Ini

Senin, 16 Mei 2011

Mandikan Aku Bunda

Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut saja Rani namanya. Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya.

Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.

Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?" Dengan sigap Rani menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok."

Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya.

menginginkan anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. "Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya.

Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda, mandikan Alif " begitu setiap pagi.Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian. Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. " Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya. Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya,shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku." Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih,namun teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, "Ini sudah takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ?". Saya diam saja endengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.

Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. " Aku ibunya !" serunya kemudian, " Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah.

Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut : " Mandikan aku, Bunda ." Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai terlambat?

Sumber:Tarigan

Minggu, 15 Mei 2011

Mencari Sosok Guru Ideal

Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.
Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini?
Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar).
Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu. Namun, bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca otaknya seperti komputer atau ibarat mesin pencari “Google” di internet. Bila ada peserta didiknya yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para anak didiknya dengan cepat dan benar. Akan terlihat wawasan guru yang rajin membaca, dari cara bicara dan menyampaikan pengajarannya. Guru yang ideal adalah guru yang juga rajin menulis. Bila guru malas membaca, maka sudah bisa dipastikan dia akan malas pula untuk menulis. Menulis dan membaca adalah kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis, mengapa? Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri. Menulis itu ibarat pisau yang kalau tidak sering diasah, maka akan tumpul dan berkarat. Guru yang rajin menulis, akan mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna. Runut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya.
Ketiga, Guru yang ideal adalah guru yang sensitif terhadap waktu. Orang Barat mengatakan bahwa waktu adalah uang, time is money. Bagi guru waktu lebih dari uang dan bahkan bagaikan sebilah pedang tajam yang dapat membunuh siapa saja termasuk pemiliknya. Pedang yang tajam bisa berguna untuk membantu guru menghadapi hidup ini, namun bisa juga sebagai pembunuh dirinya sendiri. Bagi guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak prestasi yang ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia sia-siakan. Karena itu guru harus sensitif terhadap waktu. Detik demi detik waktunya teratur dan terjaga dari sesuatu yang kurang baik serta sangat berharga. Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik.
Keempat, Guru yang ideal adalah guru yang kreatif dan inovatif. Merasa sudah berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba sesuatu yang baru dalam pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy and paste tanggal dan tahun saja. RPP tinggal menyalin dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah atau menyontek dari guru lainnya. Guru menjadi tidak kreatif. Proses kreatif menjadi tidak jalan. Untuk melakukan suatu proses kreatif dibutuhkan kemauan untuk melakukan inovasi yang terus menerus, tiada henti.Guru yang kreatif adalah guru yang selalu bertanya pada dirnya sendiri. Apakah dia sudah menjadi guru yang baik? Apakah dia sudah mendidik dengan benar? Apakah anak didiknya mengerti tentang apa yang dia sampaikan? Dia selalu memperbaiki diri. Dia selalu merasa kurang dalam proses pembelajarannya. Dia tidak pernah puas dengan apa yang dia lakukan. Selalu ada inovasi baru yang dia ciptakan dalam proses pembelajarannya. Dia selalu memperbaiki proses pembelajarannya melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dia selalu belajar sesuatu yang baru, dan merasa tertarik untuk membenahi cara mengajarnya. Dia senantiasa belajar sepanjang hayat hidupnya.
Terakhir, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kelima kecerdasan itu adalah: kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan motorik. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, Mengapa? Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses, segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Jujur bukanlah kebijakan yang terbaik, tetapi jujur adalah satu-satunya kebijakan. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan. Selain itu kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan tidak memperdulikan orang lain. Dia harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak gampang marah, tersinggung, dan mudah melecehkan orang lain. Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal.
Diposkan oleh Adi Purwanto, S.Pd

Antara Hukuman dan Disiplin Sekolah

Akhir-akhir ini tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat mengendalikan diri. Video ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa sepengetahuan guru yang bersangkutan.

Pada dasarnya kita menginginkan anak-anak kita berperilaku baik dan sopan bukan karena takut akan hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik barangkali mempunyai tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang dilakukan guru dan penerapan tersebut barangkali perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk mendisiplinkan siswa.
Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah.
Menurut Clemes (2001:47), ada beberapa pertanda yang menunjukkan bila hukuman dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan oleh:
1.Seorang anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri pasti membutuhkan penghargaan.
2.Seorang anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang melelahkan mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan penghargaan.
3.Seorang anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian perlu diberikan penghargaan jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain.
4.Seorang anak yang merasa kecewa karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil.
5.Seorang anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif atau perasaan takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya tidak dapat melakukannya,” dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu melakukannya lagi,” adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan.
6.Seorang anak yang mengalami gangguan fisik, motorik, atau organik, dan karena kesulitan semacam itu serinng mengalami kegagalan dibandingkan anak lainnya yang sebaya dengannya, perlu diberikan tugas yang sesuai dengan kebutuhannya yang khas dan juga perlu diberikan penghargaan atas keberhasilannya dalam melaksanakan tugasnya.
Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh para siswa. Dalam Buku 4 Pedoman Tatakrama dan Tata Tertib Kehidupan Sosial bagi SMP yang diterbitkan oleh Depdiknas (2001:1) disebutkan bahwa dunia pendidikan kita dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks yang perlu mendapatkan perhatian kita semua. Salah satu masalah tersebut adalah menurunnya tatakrama kehidupan sosial dan etika moral dalam praktik kehidupan sekolah yang mengakibatkan sejumlah ekses negatif yang amat merisaukan masyarakat. Ekses tersebut antara lain semakin maraknya penyimpangan berbagai norma kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan yang terwujud dalam bentuk: kurang hormat kepada guru dan pegawai sekolah, kurang disiplin terhadap waktu dan tidak mengindahkan tata tertib serta peraturan sekolah, kurang memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang, dan lain-lain.
Penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada tekniknya. Di bawah ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang tertuang dalam bentuk peraturan sekolah, yakni “peraturan otoritarian, peraturan permisif, peraturan demokratis.”
Peraturan Otoritarian
Dalam peraturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungn disiplin sekolah ini diminta mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang.
Peraturan Permisif
Dalam peraturan ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik permisif ini berupa kebingunan dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mena yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali.
Peraturan Demokratis
Pendekatan peraturan demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau hukuman dapat diberikan kepada yanng menolak atau melanggar tata tertib. Akan tetapi, hukuman dimaksud sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Dalam disiplin sekolah yang demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat berkembang. Siswa patuh dan taat karena didasari kesaadaran dirinya. Mengikuti peraturan yang ada bukan karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal itu baik dan ada manfaat.
Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada siswa atau warga sekolah lainnya yang melanggar tata tertib atau kedisiplinan yang telah diatur oleh sekolah, yang secara eksplisit berbentuk larangan-larangan. Hal ini menurut Depdiknas (2001:10), “Sanksi yang diterapkan agar bersifat mendidik, tidak bersifat hukuman fisik, dan tidak menimbulkan trauma psikologis.” Sanksi dapat diberikan secara bertahap dari yang paling ringan sampai yang seberat-beratnya. Sanksi tersebut dapat berupa:
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menterjemahkan tulisan berbahasa Inggris dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang dilakukan putera-puterinya.
4.Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya.
5.Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.
6.Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan.
Pemberian hukuman tidak ada bedanya dengan pemberian penghargaan. Antara pemberian hukuman dan penghargaan merupakan respons seseorang kepada orang lain karena perbuatannya. Bedanya, pemberian penghargaan termasuk respons positif, sedangkan pemberian hukuman termasuk respons negatif. Akan tetapi, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengubah tingkah laku seseorang. Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di masa mendatang. Sedang respons negatif (hukuman) bertujuan agar seseorang yang memiliki tingkah laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan mengurangi frekuensi negatifnya.
Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku siswa.
Diposkan oleh Adi Purwanto, S.Pd

MENJADI GURU YANG BAIK DAN BENAR

A. Pendahuluan
Guru adalah profesi yang sangat mulia. Karena gurulah yang membuat seseorang bisa menjadi presiden, jadi politisi, jadi profesor, jadi pengusaha dan lain-lain. Terlebih lagi guru SD, sungguh sangat besar jasanya bagi semua. Tanpa adanya pembelajaran yang dilakukan oleh guru SD, tidak sedikit orang yang buta huruf dan kehilangan etika. Karena, guru SD-lah yang mengajari membaca dan menulis serta bernyanyi (sebelum ada Taman Kanak-Kanak).
Guru SD juga yang mengenalkan kita akan pentingnya budi pekerti luhur, sopan santun, dan saling menyayangi sesama. Seperti lagu yang pernah didapatkan ketika SD,kutipannya adalah sebagai berikut : ”Hormati gurumu sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman.”
Begitu mulianya tugas seorang guru. Mengajari anak orang supaya bisa membaca dan menulis serta memperoleh ilmu pengetahuan, kemudian mendidik anak orang supaya menjadi manusia yang baik dan bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian, sungguh berat sebenarnya tugas seorang guru.
Guru mengajar dan mendidik siswa dalam rangka mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas, berakhlak mulia, serta mampu melakukan perubahan-perubahan di tengah masyarakat. Bisa dikatakan bahwa gurulah tolok ukur keberhasilan dunia pendidikan di negri ini. Di tangan gurulah masa depan generasi muda ini ditentukan. Oleh karena itu, sebagai guru kita mesti berhati-hati dalam menjalankan tugas mulia ini. Jika kita salah dalam mendidik mereka, maka akan salah pula nanti produk pendidikan yang dihasilkan. Ingat, bahwa yang kita cetak ini manusia. Jadi, butuh kerja keras dan kesabaran ekstra. Lain halnya dengan mencetak kue. Ketika kita ingin membuat kue bolu, tinggal siapkan bahan, diadon, masukkan ke cetakan, terus dimasak. Selesai. Jadilah kue bolunya. Sangat gampang. Namun, meskipun demikian, kita pun perlu hati-hati dalam membuatnya. Karena, jika salah dalam mengadon bahannya, bisa jadi kue kita jadi bantat dan jika tidak dikontrol apinya, bisa jadi kue kita gosong.
Dalam pendidikan, yang akan kita cetak itu adalah manusia. Bukan tepung terigu dan telur yang tidak pernah protes meskipun kita campur aduk dengan bahan apapun. Kalau yang kita cetak adalah makhluk hidup, kita harus lebih banyak belajar dan terus meningkatkan ketrampilan dalam mencetaknya. Agar output yang dihasilkan juga sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam pendidikan, output yang kita harapkan tentunya adalah siswa yang bukan hanya baik saja, tetapi juga harus benar. Oleh karena itu, guru sebagai pencetaknya, juga harus melakukan pengajaran dan pendidikan dengan cara yang baik dan benar. Ingat, baik saja belum cukup. Sesuatu yang baik, belum tentu benar. Mengajar adalah sesuatu yang baik, tetapi belum tentu kita mengajar dengan cara yang benar. Oleh karena itu, baik dan benar harus menjadi satu kesatuan yang utuh, yang berjalan bersama-sama dan tidak ada yang boleh tertinggal.

B. Permasalahan
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka permasalahannya adalah bagaimana menjadi guru yang baik dan benar ?

C. Pembahasan
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”.(Ramayulis,1982:42) Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi. (Ramayulis, 1998:36)
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Tulisan berikut ini merupakan kutipan yang diambil oleh penulis dari buku Abuddin Nata (2000:95-99) ketika menjelaskan kriteria guru yang baik dari kitab Ihyaa Ulumuddin yang merupakan karya monumental Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Sengaja kutipan di bawah ini diberi sedikit komentar untuk lebih memperjelas maksud yang hendak disampaikan.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
1. Meluruskan niat menjadi guru
Banyak diantara kita yang menjadi guru hanya sekedar pelarian saja. Karena tidak dapat pekerjaan lain, karena kebutuhan PNS guru lebih besar dibandingkan dengan PNS lainnya, dan karena banyak hal yang lain. Jika begini, maka kita tidak akan pernah memiliki target dan visi yang jelas ketika menjadi guru. Mungkin cenderung hanya berorientasi pada materi semata, bukan keberhasilan pendidikannya. Oleh karena itu, sebelum menjalani profesi sebagai guru atau yang sudah menjadi guru, marilah sama-sama kita meluruskan niat lagi. Mengapa kita menjadi guru? Hanya sekedar mencari nafkah atau memang benar-benar ingin mengabdikan diri di dunia pendidikan agar dapat mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas?

2. Memiliki akhlak yang mulia
Istilah ”guru”, sering kita kenal dengan ”digugu dan ditiru”. Nah, ini berarti bahwa guru merupakan suri tauladan bagi murid-muridnya. Segala gerak-gerik, perkataan, dan tingkah laku guru sedikit banyaknya akan dicontoh oleh murid-muridnya. Oleh karena itu, kita mesti mencontohkan akhlak yang mulia bagi murid-murid kita. Agar mereka juga bisa menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Maka hindarilah sifat-sifat tercela seperti membenci, marah yang berlebihan, mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor, mencaci maki murid, dendam terhadap murid, dan berlaku tidak sopan terhadap murid. Hargailah murid terlebih dahulu sebelum kita minta murid untuk mengahargai kita. Sayangilah murid, sebagaimana kita sayang pada anak kita sendiri. Jika kita tidak mampu untuk menampilkan ahlak yang mulia, maka kecil harapan kita bisa mencetak siswa yang berakhlak mulia. Bukankah akhlak itu sangat penting dalam proses pendidikan manusia?

3. Senantiasa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik
Jika sekarang kita sudah baik, berusahalah terus untuk menjadi lebih baik dihari-hari berikutnya. Jika kita belum baik, maka perbaiki diri kita mulai sekarang dan terus ditingkatkan untuk hari-hari berikutnya. Yang jelas, semuanya itu proses belajar. Jika hari ini kita salah dalam memperlakukan murid, maka belajarlah untuk memperbaikinya di lain waktu. Dengan demikian, murid juga akan mencontoh kebiasaan kita, yakni senantiasa belajar untuk menjadi lebih baik.

4. Pandanglah murid itu sebagai manusia yang telah memiliki potensi masing-masing.
Jangan pandang mereka sebagai gelas kosong yang siap kita tuangi air sampai penuh, bahkan meluber. Setiap manusia pasti memiliki potensi, kita tinggal menggali dan mengembangkannya saja. Dengan demikian, proses belajar akan lebih bermakna dan memperoleh hasil yang maksimal.

5. Jangan pernah merasa diri kita selalu benar dan murid tidak boleh lebih benar dari kita.
Setiap manusia tidak ada yang sempurna. Meskipun kita guru dan lebih tua dari murid, tetap saja berpeluang untuk salah. Dan murid, meskipun lebih muda dan mungkin ilmuya belum sebanyak kita, tetap berpeluang untuk lebih benar dari kita. Kita sama-sama manusia, yang memiliki peluang yang sama untuk berbuat salah. Maka jangan merasa benar sendiri. Mengajar itu ibadah, jangan pernah berputus asa atas berbagai masalah yang kita temui selama menjalani proses pendidikan ini.
Diposkan oleh Adi Purwanto, S.Pd

Traumatik Anak Pengaruhi Kekebalan Tubuh

Traumatik ketika masa kanak-kanak diyakini dapat mempengaruhi perkembangan pembentukan sistem kekebalan tubuh ketika menjelang remaja.

Peneliti di Inggris menyatakan, remaja yang pernah mengalami trauma pada anak-anak memiliki sistem kekebalan tubuh yang kurang ketimbang remaja yang tidak pernah mengalami trauma.

Kepala Tim Peneliti Universitas Wisconsin Madison, Prof. Cris Coe, yang memimpin sebuah studi mengenai trauma atau stres pada anak mengatakan, sistem kekebalan tubuh tidak dibangun langsung ketika kelahiran akan tetapi sel-sel tersebut berkembang dan berproses dipengaruhi lingkungan.

Wakil Tim Peneliti, Prof Seth Colak menambahkan, meski telah melalui masa sulit ketika menghadapi stres, namun itu tidak menghilangkan efek terhadap tubuh. "Efek itu mempengaruhi cara belajar dan sikap anak serta mempengaruhi pembentukan sistem kekebalan tubuh sehingga kelak akan mempengaruhi kualitas kesehatan anak," ungkapnya.

Studi yang dilakukan oleh Coe melihat tingkat kemampuan tubuh untuk menghadapi stres baik yang ringan maupun berat kemudian juga virus pemicu stress terhadap 155 remaja.

Lebih dari setengah sukarelawan membawa virus, mereka semua memiliki sistem kekebalan tubuh yang dapat menahan dan kecil kemungkinan mengalami sakit. Bagaimana pun, sistem kekebalan tubuh akan tidak berfungsi maksimal sehingga berbahaya ketika menghadapi virus yang masuk.

Penemuan yang dalam proses pernerbitan dalam Jurnal Akademi Nasional menunjukan mereka yang pernah mengalami trauma atau stres pada masa kanak-kanak memiliki peningkatan pembentukan sel tubuh untuk melawan virus, itu menunjukan sistem kekebalan tubuh mampu berkompromi.

Sumber:Repbulika

“Kenakalanya” Adala Cara Dia Berbicara

Integral-Oleh: Ibadurrahman, S. Pd Adalah hal yang sangat sering seorang guru mengeluh tentang muridnya yang nakal di kelas terutama selama kegiatan belajar berlangsung. Keluhan tentang siswa yang selalu ngobrol sendiri ketika guru sedang menerangkan, siswa yang sering melamun, corat-coret dinding atau meja, suka menyela, bermain musik dengan meja sebagai instrumennya dan lain-lain. Hampir semua guru sepakat bahwa mereka adalah siswa “nakal”. Karena mereka tidak bisa tertib di kelas.

Namun seorang Thomas Amstrong dalam bukunya Sekolah Para Juara secara berkelakar mengatakan bahwa “kenakalan” siswa dikelas semacam itu secara metafor ingin mengatakan kepada gurunya, mengungkapkan perasannya; “Inilah cara saya belajar, Pak / Bu Guru, dan apabila anda tidak megajari saya melalului cara saya yang paling alamiah, apa yang akan terjadi? Bagaimanapun juga saya tetap melakukannya.

Kenakalan siswa di kelas semacam itu menurut Amstrong adalah ekspresi berkaiatan dengan kecerdasan anak tersebut. Anak yang suka meyela bisa dikatakn mempunyai kecerdasan linguistic tinggi, anak yang suka corat coret berarti mepunya spasial, anak suka mengobrol berarti mempunyai kecerdasan intrapersonal. Kenakalan itu seolah-olah juga menjadi semacam seruan minta tolong - indicator diagnostik tentang bagaimana seorang siswa seharusnya mendapatkan pengajaran.

Kelakar Amstrong kalau kita renungkan, tanpa mengesampingkan unsur akhlaq / adab siswa terhadap guru akan juga terasa benarnya. Allah menciptakan manusia dengan segala potensi / kecerdasan yang berbeda-beda. Maka adalah hal yang masuk akal dalam merangsang potensinya pun dengan cara yang berbeda -beda pula. Maka timbul berbagai pertanyaan dalam kasus kelas diatas. Sala satu pertanyaan itu adalah lantas siapa sebenarnya yang harus berubah? Siswa atau guru? Akankah guru akan memaksa dengan caranya untuk menghentikan aksi ngobrol dikelas ketika pelajaran berlansung? Menghukum anak yang suka menyela? Memberi sangsi bagi siswa yang suka menggambar di meja dan lain sebagainya ataukah guru dengan ihlas intropeksi terhadap metodenya? Lalu merubah metodenya dengan yang lebih mengakomodasi semua potensi kecerdasan siswanya?

Sudah saatnya dalam menggugah pikiran siswa dikelas guru tidak terpaku pada teks dan papan tulis. Dua film tentang Guru hebat, Stand and Deliver (1987) dan Dead Poets Society (1989) menegaskan hal tersebut. Dalam Stand and Deliver seorang guru matematika sekolah hispanik menggunakan apel untuk menjelaskan pecahan, jari untuk mengajarkan perkalian. Seorang guru sekolah persiapan dal Dead Poets Society, menyuruh muridnya membaca karya sastra saat mereka menendang bola dan mendengarkan musik klasik dan masih banyak lagi berbagai teknik dan metode pengajaran masa kini yang bisa kita terapkan.

Teori kecerdasan majemuk memberi jalan setiap pendidik untuk memikirkan metode mengajar mereka yang paling tepat untuk memahami megapa metode tersebut dapat berhasil / cocok bagi sebagain sbaik guru maupun orang tua siswa namun tidak bagi sebgaian yang lain. Juga membantu para pendidik baik guru maupun orang tua memperkaya perbendaharaan teknik, metode dan materi mengajar mereka sehingga dapat menjangkau kelompok siswa yang semakin luas dan beragam. Sekarang tinggal guru. Maukah menyibukkan diri untuk berubah?

Di ujung paragraf mari kita cermati penggalan cerita tentang seorang ibu. Yang mengeluh dengan anaknya yang kedua. Anaknya yang kedua begitu berbeda dengan yang lainnya. Hampir semua anaknya adalah anak yang aktif, cerdas, bicaranya juga hebat dan selalu berprestasi di bidang akademik maupun non akademik di sekolah namun anak yang kedua ini pendiam, tidak aktif dan juga tidak terlalu hebat akademiknya. Namun suatu hari si ibu begitu terharu ketika setelah sholat ibu bertanya kepada anaknya yang kedua.Nak, kamu berdoa minta apa kalau ibu boleh tahu?saya hanya berterimakasih kepada Allah yang telah menganugerahkan Ibu yang baik kepada saya. Sontak ibu itu terperanjat dan begitu terharu. Sebuah jawaban pendek yang mengubah pandangannya tentang anaknya. Anaknya begitu bersyukur kepada Allah sementara si Ibu merasa menjauhi rasa syukur itu. Secara diam – diam ibu itu pun berkata dalam hati. Anaku yang kedua sangat cerdas. Wallahu a’lam.

Mandikan Aku Bunda

Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut saja Rani namanya. Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya.

Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.

Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?" Dengan sigap Rani menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok."

Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya.

menginginkan anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. "Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya.

Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda, mandikan Alif " begitu setiap pagi.Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian. Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. " Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya. Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya,shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku." Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih,namun teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, "Ini sudah takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ?". Saya diam saja endengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.

Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. " Aku ibunya !" serunya kemudian, " Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah.

Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut : " Mandikan aku, Bunda ." Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai terlambat?

Sumber:Tarigan

Hormati Remaja Layaknya Pribadi Utuh

Menginjak usia remaja awal, keberadaan anak sering kali membuat orang tua khawatir. Maklum periode ini adalah masa transisi cepat pada metamorfosis dalam hidup. Anak-anak umumnya berkaca pada ajaran yang diberikan pada orang tua, tapi di usia remaja yang terjadi bisa jauh berbeda. Ini adalah saat bagi orang tua mulai menganggap anak laiknya individu beserta hak-haknya yang melekat.

Perbedaan anak dengan orang tua tak sekedar perlu ditoleransi malahan perlu didorong. Kepedulian besar orang tua akan mempengaruhi perilaku anak-anak remaja hingga kedepan nanti.

Perubahan

Usia remaja adalah masa yang memiliki keunikan sendiri. Ini bukanlah periode pembentukan akurasi pada seorang individu. Tahap ini bisa dimulai bahkan pada usia 7 atau bahkan 6 tahun. Tapi pada umumnya masa ini dimulai saat di usia 13 tahun.

Tahap ini bukan hanya ditandai perubahan emosi tapi juga fisik, termasuk alat-alat reproduksi. Jelas, perubahan tersebut adalah alami bagi siklus manusia. Sebagai anak lelaki dan perempuan, tumbuh dengan cara berbeda, ayah dan ibu harus lah benar-benar memegang tanggung jawab mengarahkan dan membantu anak-anak bila muncul kebingungan yang kerap menemani saat proses perubahan berlangsung.

Privasi

Seorang anak remaja tiba-tiba menjadi sangat peduli dan ingin tahu terhadap dirinya terutama tubuhnya. Itulah mengapa mereka membutuhkan ruang dan waktu pribadi untuk berefleksi. Jika orang tua dapat memenuhi kebutuhan ini, sediakan kamar terpisah untuk anak. Namun bila tidak mulai pisahkan kamar tidur anak lelaki dengan anak perempuan. Adab Islam mengajarkan untuk mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan harus segera diajarkan dengan disiplin pada tahap ini.

Setiap anak berbeda.

Tidak semua anak tumbuh dengan cara sama. Beberapa melalui masa kanak-kanak dengan damai, dalam tahapan mulus, sementara yang lain melewati penuh masa sulit. Orang tua tidak seharusnya bereaksi berlebihan dengan anak yang memiliki masa sulit dalam tahap remajanya.

Setiap perubahan dramatis dalam kehidupan di setiap tingkatan usia ialah sulit, dan harus disikapi dengan sesuai. Lagi pula itu adalah pengalaman hidup, dan orang tak mampu mengubah hidupnya ke bentuk lain. Orang tua berpengalaman dan perhatian sudah seharusnya menyadari jika mereka ialah cara positif paling ampuh untuk mendidik anak. Kebijakan penghargaan dan sanksi yang terbuka jika diterapkan dalam konteks tepat dengan ketulusan dan kejujuran, mampu membawa anak ke arah lebih baik. Tidak ada aturan pasti dalam urusan keluarga. Bagaimanapun ada beberapa panduan yang terbukti membuahkan hasil dalam menghadapi remaja.

* Bagi peran pembuat keputusan: Remaja kerap mengeluarkan ide cemerlang. Di saat yang sama, memasukkan mereka dalam proses pembuatan keputusan akan membantu menumbuhkan rasa percaya diri dan perasaan dihargai, sekaligus membuat mereka menjadi bagian dari keputusan itu.

* Jaga konsistensi : Orang tua tak seharusya menuruti mood gampang berubah. Itu akan membuat remaja semakin bingung, atau lebih membahayakan, akan dianggap hal biasa dalam hubungan orang tua terhadap anak, dan mereka pun meniru. * Miliki prinsip tegas : Pendidikan yang berhasil membentuk remaja bergantung pada lingkungan keluarga yang menawarkan kebebasan dan kelenturan. Bagaimanapun, kehidupan muslim dipandu oleh prinsip dan nilai-nilai mendasar Islam. Jangan lepaskan nilai-nilai itu.

* Berbicara dan Jelaskan : Orang tua jangan bersikap bossy, terutama dengan remaja. Jika perlu, orang tua malah seharusnya melakukan kerja ekstra untuk berbicara dan menjelaskan segala sesuatu. Jika anak merasa didorong telalu keras akan timbul jarak dengan orang tua. Itu hanya akan menambah buruk hubungan di masa depan.

* Negosiasi dan menawar : Kemungkinan ada situasi dimana orang tua harus bernegosiasi dengan anak mereka untuk hasil lebih baik. Hanya karena orang tua adalah orang tua, tidak berarti mereka selalu benar.

* Beri anak ruang: Remaja kerap kali membutuhkan ruang untuk mengatasi kemarahan, depresi, dan frustasi. Orang tua tidak harus selalu mengganggu mereka dan justru membiarkan mereka sendiri untuk beberapa saat.

* Buat acara keluarga berkala: Perasaan loyal dan dekat terhadap keluarga sangat penting. Itu akan meningkatkan kepedulian anak bila mereka terlibat penuh dalam urusan keluarga. Acara keluarga menciptakan kesempatan melakukan diskusi bebas atau topik apapun di bawah matahari. Penyatuan keluarga akan mudah terbentuk lewat cara ini.

* Libatkan anak dalam aktivitas Islami: Banyak kegiatan Islami di luar seperti kelompok pengajian, dan remaja masjid. Remaja harus didorong untuk aktif terlibat dalam organisasi semacam itu. Ini adalah salah satu cara orang tua mendidik anak untuk seimbang antara kehidupan dan tanggung jawab di dalam keluarga, diri sendiri, masyarakat sosial sekaligus kegiatan keagamaan.

* Jangan lupa rekreasi: Islam tak hanya mengajarkan bekerja keras tetapi juga menjaga hati tetap tenang, salah satunya dengan rekreasi. Rasul s.a.w pun menganjurkan untuk berekreasi, (diriwayatkan Sunan al Diyami) “Hiburlah hati, karena jika hati terlampau lelah, orang pun akan buta,” Berkuda, panahan, dan berenang dulu pun menjadi kegemaran Rasul s.a.w. Tentu tak harus seperti itu, melakukan permainan menyenangkan, latihan olah tubuh sangat dianjurkan dalam Islam. Kebugaran tubuh dan mental sangat diperlukan untuk membentuk kepercayaan diri dan hal penting untuk melakukan kerja bermanfaat.

Namun di atas itu semua mintalah selalu petunjuk dan pertolongan Allah semata. Dalam Al Qur’an pun telah dituturkan, bahkan sekelas Nabi Nuh a.s tak mampu mencegah anaknya dari perbuatan durhaka. Memberi dukungan dan panduan tak putus-putus pada anak adalah esensi utama orang tua yang beriman.

Sumber: ummah.com

5 Prinsip Komunikasi dengan Anak

Anak memiliki jiwa yang unik yang perlu diselami secara dalam, terutama hal komukasi. Agar komunikasi berjalan efektif dan diperlukan kiat khusus. Berikut ada lima prinsip komunikasi terhadap anak.

1. Jangan pernah menganggap anak bodoh atau tak tahu apa-apa

Berbeda dengan anggapan banyak orang dewasa ini, anak yang paling kecil sekalipun sebenarnya sudah menyerap banyak hal dari lingkungannya. Ia melihat, merasakan, mendengar dan memikirkan (meski masih dalam kapasitas yang terba-tas). Kadang-kadang bahkan dengan kepekaan yarg luar biasa. Expect more they'll give you more.

2. Hati-hati dengan kemampuan orang tua menghipnotis anak

Prinsip programming komputer garbage in garbage out (sampah yang masuk, sampah yang keluar), benar-benar terbukti dalam pendidikan anak. Kalau orang tua ingin memperoleh output yang berkualitas, masukkanlah bahan-bahan mentah yƤng baik. Pujian, pengharga-an, kata-kata manis, omelan yang proporsional dan tidak rnerendahkan harga diri anak; semuanya menentukan output itu. Sebaliknya, celaan dan hinaan akan menghipnotis anak bahwa dirinya tak berharga sampai ia dewasa.

3. Dibutuhkan kelenturan dan fleksibilitas

Kadang-kadang, orang tua perlu menjadi 'pelindung dan pahlawan', kadang-kadang sebagai teman dan sahabat, dan pada waktunya nanti sebagai seorang ayah/ibu yang realistis menerima berbagai kondisi dan keter-batasan. Tentu dibutuhkan kepekaan untuk itu. Misalnya pada saat sulit, orang tua justru bershenti bersikap sebagai sahabat dan lebih bertindak sebagai pelindung. Sesudah konfrontasi atau krisis, tidak peduli berapapun usianya, anak membutuhkan suasana terlindungi.

Ia, dan juga kita, membutuhkan 'ruang', yang lebih tenang; kita bisa memberinya dengan bersikap sebagai pelindung. Misalnya, dengan berbicara tenang, pandang mata anak. Jangan hujani dengan terlalu banyak pertanyaan. Syukur alhamdulillah, kebanyakan orang tua sebenamya sudah dibekali naluri untuk ber-tindak peka seperti ini, meski semata-mata mengandalkan naluri pun tak terlalu tepat.

4. Semaksimal mungkin menyediakan tiga unsur penting komunikasi yakni; waktu, sentuhan dan bicara.

Tiga faktor utama inilah yang menentukan apakah komuniksi orang tua dan anak akan sehat, apakah anak akan tumbuh kembang normal dan sehat sertasiap memasuki dunia luas. Apakah ia akan tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri dan siap menghadapi tantangan, atau anak penakut dan rendah diri. Bahkan ayah/ibu yang sangat sibuk pun sebenarnya bisa tetap menyediakan waktu yang cukup bagi anak mereka. Ada teknik-teknik untuk itu; misalnya, dengan memberi anak beberapa me-nit perhatian yang tak terbagi dalam sehari.

Semua orang memiliki yang disebut skin hunger k'n langer; ra-sa lapar akan sentuhan. Tak perduli berapa usia kita, kita membutuhkan kasih sayang yang diwujudkan dengan sen-tuhan. Ini bisa berarti, cubit, sayang, gelitikan, gulat atau ciuman. Selama masih bisa, sebanyak-banyaknya sentuhan itu pada anak; tidak akan lama lagi mereka sudah akan merasa malu dicium oleh ayah/ibu mereka. Namun, jangan berhenti karena mereka malu dicium; sentuh dengan cara lain, misalnya meragkul bahu atau menggelitik. Pada dasamya, mereka tetap membutuhkannya. Akan halnya bicara, ba-nyak hal yang bisa diperhati-kan.

Misalnya saja, orang tua dapat berbicara pada anak lewat mendongeng, bacaan ayat suci, nyanyian, 'goda-menggoda, humor dan lelucon. Berbicara adalah juga mendengar dengan baik dan peka; membaca raut muka serta pengungkapan isi hati. Berbicara adalah memuji, mengomeli, sesekali mengancam, menyatakan cinta, menyatakan kesedihan dan kekecewaan. Berbicara adalah menghargai pendapat anak, memintanya menghargai pendapat orang lain. Berbicara bicara serius, ringan ataupun sambil lalu.

5. Menggunakan kreativitas

Tidak semua ketrampilan dan pengetahuan bi diperoleh seketika. Karena itu di-butuhkan keberanian mencoba dan kreativitas. Dua faktor Bantu orang tua menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tak bisa dicegah, seperti godaan dari luar rumah. Contoh ketika seorang ibu terpaksa mengambil keputusan pindah dari lingkungan yang sekarang, karena dirasa tak lagi aman bagi perkembangan anak-anaknya.

Bagaimana bila orang tua merasa 'terlanjur' salah dalam berkomunikasi dengan anak? Alhamdulillah, Allah Ta'ala melengkapi manusia dengan kemampuan melupakan suatu pengalaman buruk dan bangkit kembali dari kegagalannya. Karena itu, selamat mencoba resep berkomunikasi dengan anak ini.

Dikutip dari Makalah Shanti W:E: Soekanto pada Seminar Sehari Komunikasi Efektif Orang Tua dan Anak.

Rumah Membentuk Karakter Anak

integral.sch.id-“Fulan, tidak boleh nakal ya? Nanti ibu jewer kupingmu sampai putus lo?,” ancam seorang ibu. Dalam waktu singkat muka sang anak menjadi merah ketakutan mendengar ancaman ibu. Terbesit dalam hati sang anak, nanti kalau jadi orangtua kalau anak nakal harus dijewer.

Dalam cerita singkat di atas seorang ibu tanpa sadar menanamkan karakter kepada anak bahwa sebuah kesalahan harus mendapat punishment yang berat. Contoh kasus di atas mengisyaratkan perlu adanya kehati-hatian orang tua dalam melakukan sesuatu. Bagaimanapun falsafah Jawa berlaku, orang tua itu seperti guru, yang “di gugu lan di tiru”.

Salah satu guru kelas I SD Integral Luqman Al Hakim, ustadzah Dra. Rahma Anasia menjelaskan berkaitan dengan karakter anak bahwa pembentukan karakter anak yang paling besar dipengaruhi oleh peran orangtua (home environment) dan sekolah.

Pasalnya waktu bagi seorang anak yang rata-rata bersekolah di lingkungan sekolah yang menerapkan program full day school habis hanya di dua lingkungan. Lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga (rumah).

Maka, lanjut wanita yang anti dengan makanan instan itu harus ada sinkronisasi antara orang tua dan guru di sekolah. Jangan sampai sekolah hanya dijadikan sarana menitipkan anak. “Perlu ada komunikasi yang intensif antara guru dan orangtua, agar perkembangan anak bisa terpantau,” ungkapnya.

Orang tua harus pandai-pandai membedakan antara sesuatu yang wajib dan mubah dalam kehidupan keluarga. Orang tua itu salah satu fungsinya mendidik, mengasuh, dan mengarahkan anak menuju masa depan yang baik. “Tentunya juga diimbangi pemahaman agama yang kuat,” katanya.

Ia menambahkan lagi, sudah waktunya orang tua membatasi anak melihat TV. “TV itu media pembentuk karakter anak yang cepat tapi juga merusak,” jelasnya sambil geram.

Senada dengan yang dijelaskan ustadzah Rahma, demikian muridnya akrab memanggil, ustadzah Shita, S. Psi (namanya lum lengkap) juga memberikan penjelasan tentang bagaimana membentuk karakter anak.

Menurutnya, karakter anak terbentuk pada tiga lingkungan. Rumah, sekolah, dan pergaulan. Dari ketiganya itu factor yang cukup siginifikan mempengaruhi yakni factor rumah atau keluarga. Sebab, lanjutnya, porsi waktu anak lebih banyak bersama orang tua yaitu di rumah. “Apalagi antara anak dan orang tua memiliki hubungan batin yang kental, jadi bagaimanapun orang tua tetap jadi figure bagi anak,” terangnya.

Guru bimbingan konseling di SD Integral itu juga memberikan arahan bagaimana seharusnya oran tua di rumah bersama anak di samping kesibukannya yang menyita. Orang tua perlu memperhatikan anak, mulai apa yang terjadi dan dipelajari di sekolah. Sharring kepada anak perlu untuk evaluasi perkembangan apapun di dalam diri anak.

Orang tua harus menyempatkan waktu bersama anak. Menemani belajar, sholat, dan bermain. Berkomunikasi dengan anak, walau sekedar “say hello” dari tempat kerja. “Dengan begitu anak tidak akan merasa sendiri terlebi anak juga merasa di perhatikan,” paparnya. (perluasan dari wawancara guru SD dan biro konsulting anak SD Integral Luqman Al Hakim )